Perahu Kertas: Empat Belas Tahun Penantian Untuk Teman di Masa Nanti

Disadur dari Surat Balasan Untuk Teman Tulis di Kota Masa Kecil

Rizky Phalosa Ady
12 min readFeb 29, 2024

Mungkin Februari ini merupakan bulan istimewa bagi kita, sebab bulan ini hanya muncul sekali dalam empat tahun. Namun, bagiku tidak hanya itu, Februari ini juga yang terindah yang pernah ku lalui, sebab bulan ini baru kutemui setelah empat belas tahun lamanya. Kini, aku selangkah lebih dekat untuk membersamai siapa yang telah menemukan arah tuju.

Artikel ini lahir untuk mengabadikan satu kisah dari masa penantian, sebagai penanda dan karsa bagi waktu yang telah dijanjikan

Saat malam itu tiba, pada Selasa, 13 Februari, ketika suratnya sampai, kebahagiaan menyelinap ke dalam diriku. Kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah terlukis dalam rasa. Hingga saat artikel ini ditulis, tiap kali membaca suratnya aku masih tidak percaya, bahwa lebih dari empat belas tahun perjalananku yang tidak pernah mengetahui ia juga menyimpan rasa yang sama, sekali lagi menyatakan berkenan hadir membersamai perjalanan hidupku.

Tuhan memanglah sebaik-baik perencana untuk hamba-Nya.

Ucapan terima kasih kusampaikan untuknya karena telah berkenan berbagi kisahnya tentangku di surat itu. Kisah yang selalu ku semogakan ada meskipun hanya angan-angan dahulu. Ucapan yang sama sekali lagi telah tersampaikan untuknya, sebab telah terus merawat perasaan itu sedari pertama kali kami — yang masih kecil — bertemu. Meskipun tidak mudah, tetapi harapnya yang bertumbuh itu semoga kini bunganya indah dan semoga terus bertumbuh hingga buahnya dapat dipetik, dinikmati, hingga menghasilkan benih-benih kebaikan di masa nanti.

Dalam cerita ini siapa yang menemukan arah tuju adalah Bulan bagiku. Jaraknya lebih dekat daripada matahari dan bintang. Sinarnya tidak lebih, tidak kurang. Cahayanya tak hanya senantiasa teduh di setiap malam, tetapi juga teramati, di siangnya hadir menemani matahari. Karena itu, marilah kita memanggilnya demikian.

Selamat membaca.

2007

Sejak tiga tingkat pertama di Sekolah Dasar aku kecil sudah tertarik dengan Bulan. Hanya saja memang rasa itu masih sebatas benih yang baru ditanam, sebab aku sedang menaruh perasaan dengan anak perempuan lain yang mendekatinya — maaf jika terdengar aneh untuk anak sekolah dasar, tetapi begitulah si kecil itu adanya.

Benih itu sedikit demi sedikit terus bertumbuh, bersamaan dengan tumbuhnya Bulan.

Aku kecil mengagumi karakternya yang pemalu. Bukan, bukan malu yang takut mengangkat tangan di kelas, tetapi malu yang terlihat darinya berbicara, berbusana, dan bertingkah laku. Tidak hanya itu, pintar dan paras Bulan benar-benar membuatku menaruh hati dan simpati padanya. Aku kecil kala itu barandai-andai hidup bertumbuh bersama Bulan di masa nanti.

Setelah beranjak ke tiga tingkat terakhir, ketika benih itu baru saja tumbuh dengan baik, acapkali kala melihat Bulan didekati oleh yang lain, rasanya tidak senang hati. Terlebih siapa yang menyukainya juga kawan dekatku.

Salah satu momen yang ku masih ingat betul. Saat itu sedang jam istirahat kelas. Sebagian teman sedang bermain di luar, sebagian lainnya duduk bergurau dengan wali kelas kami — sekaligus ibu dari siapa yang menyukainya — termasuk aku kecil turut bergabung. Di tengah canda dan obrolan kami “Buu,” salah satu teman kala itu memanggilnya seraya bertanya “kalau Bulan nanti menikah dengan anak ibu, ibu mau ngga?”. Ia merespon dengan senyuman dan kata-kata yang sudah tak ku ingat lagi. Yang jelas ku ingat ia merestui masa depan itu. Aku kecil yang masih labil kesal sekali mendengarnya. Momen itu menggugurkan semua harap yang ku simpan untuk Bulan.

Aku memutuskan untuk berusaha menghindari segala komunikasi dengan Bulan, hendaknya supaya rasa itu hilang dengan sendirinya. Aku juga mencari siapa yang dapat menggantikannya. Biarpun pada akhirnya gagal, langkah itu tidak menghapus perasaanku untuknya. Hingga kami melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya, rasa itu masih mengendap di dasar hati.

2013

Setelah kelulusan, aku mendengar bahwa Bulan akan meneruskan pendidikan di sekolah yang sama dengan teman-teman dekatku. Meski senang mengetahui bahwa sekolah kami berada di kota yang sama dan bahkan hanya berseberangan jalan, sebenarnya kami tetap makin menjauh, sebab kedua sekolah kami berbasis asrama yang lengkap dengan segala aturan di dalamya.

Sesekali ketika berjumpa dengan teman-temanku—kami sesekali berpas-pasan di kedai nasi goreng langganan, Bulan juga bagian dari perbincangan kami. Jika mereka tidak bercerita, maka aku yang akan bertanya “Eh, gimana Bulan di sana?”. Yah meskipun pada akhirnya aku menyesal telah bertanya, sebab kabar yang kuterima kala itu dia disukai oleh satu atau lebih siswa di asrama putra, dan kalau tidak salah juga dekat dengan salah seorang di antara mereka.

Selama tinggal di kota itu, aku masih menyimpan rasa suka dengan Bulan. Namun, selama itu juga aku berusaha melupakan rasa itu, bahkan hingga ia lulus dari asrama dan kembali pulang untuk melanjutkan jenjang menengah atas di kota masa kecil.

Tidak ada yang dapat ku lakukan pikirku. Perihal jarak, akses komunikasi, hingga kabar bahwa Bulan sedang dekat dengan yang lain, adalah sebab aku tak menghiraukan rasa yang ku miliki. Selama di asrama, aku hanya fokus dengan studiku, tidak lebih, tidak kurang.

Walaupun demikian, entah mengapa Bulan kerap hadir dalam mimpi. Sesekali dalam satu sampai beberapa bulan mimpi itu selalu berkunjung. Kapan pun ku bangun dari mimpi itu, tanya mengapa selalu hadir selepasnya. Sebab aneh sekali, aku sedang melupakannya, mengapa ia justru datang menghampiri?

Mimpi itu seakan memberi isyarat agar tetap membiarkan rasa yang ku miliki tetap ada. Entah benar atau tidak, setidaknya itu yang ku rasakan. Aku yang selama itu tidak ingin berharap lebih, membuatku melihat mimpi itu sebagai angin lalu yang datang, singgah sejenak, lalu pergi.

2020

Pertengahan tahun aku mengawali masa kuliah secara daring. Di saat yang sama aku menyadari bahwa kuliah tidak lagi sama seperti masa sekolah dahulu, sebab hanya aku yang akan bertanggung jawab penuh untuk studi ini.

Aku pelan-pelan memulai kebiasaan positif, baik dari sisi akademik, nonakademik, hingga pengembangan diri dengan banyak membaca. Akun Bookstagram — akun Instagram yang menampilkan kumpulan foto buku dan bacaan yang disusun secara artistik — milik Bulan adalah salah satu inspirasiku untuk memulai akun bacaanku sendiri. Hanya saja akunku berasal tidak hanya dari buku, tetapi juga dari berbagai sumber lainnya, seperti Medium serta Quora.

Menjelang pergantian tahun, aku meminjam salah satu buku miliknya yang berjudul The Happiness Project, karya Gretchen Rubin — salah satu buku terbaik yang pernah ku baca. Ketika kami bertemu, selain meminjam buku, sebetulnya aku juga ingin berbincang sejenak lebih lama untuk menanyakan kabar dan segalanya tentangnya. Sayang … kala itu aku sangat kikuk, rasanya bibirku kelu, sehingga terkesan ketus. Meski hanya bersapa sebentar, rasa ingin bertemu itu sedikit terobati setelah kami tidak bertemu tujuh tahun lamanya. Sesudah peristiwa itu, kami kembali lagi seperti yang sudah-sudah. Tidak banyak berkomunikasi, apalagi memiliki agenda bertemu.

Masuk ke semester lima, aku mulai menetap di Ibu Kota. Di sana aku bertemu dengan orang-orang baru, baik dari kegiatan kampus maupun kesibukan lainnya. Sesekali aku tertarik dengan perempuan yang kutemui, tetapi tetap saja tidak ada seorang yang benar-benar terasa tepat bagiku.

Yang ku percaya, hubungan yang tidak dibangun dengan hati yang utuh, hanya akan melukai satu atau kedua pemiliknya.

Rasa suka yang ku kepada Bulan masih menetap. Terasa salah apabila memulai suatu hubungan ketika hatiku masih diisi olehnya saja. Maka dari itu, hingga pertengahan semester tujuh, aku tidak berusaha untuk membangun hubungan spesial dengan siapa pun. Adapun selebihnya, maka teman musiman yang kala musim itu beranjak, maka aku atau mereka akan pergi, menjauh, dan hilang, sibuk dengan dunianya masing-masing.

2023

Rasa heranku pada mimpi yang kerap hadir sejak kami berpisah masih terus berlanjut, hingga pada suatu masa tiba-tiba saja aku takut kehilangan dirinya. Berhari-hari aku cemas memikirkan apabila aku tidak memiliki kesempatan untuk setidaknya menyatakan perasaanku padanya. Khawatir jika aku akan kehilangan untuk selamanya. Belum pernah rasanya setakut itu untuk kehilangan seseorang.

Aku bukanlah mereka yang menjadikan mimpi sebagai petunjuk, hanya saja aku yakin segala sesuatu terjadi bersamaan dengan maksud dan tuju.

Sadar betul bahwa pernikahan adalah perjalanan seumur hidup, aku berusaha memastikan bahwa Bulan adalah siapa yang ku cari untuk membersamai di masa nanti, sebelum nantinya segala rasa yang ku miliki sejak lama. Lamanya putus komunikasi mengharuskanku mencari informasi tentangnya.

aku mulai memikirkan bagaimana caranya untuk dapat terhubung kembali. Jarak kami terlampau jauh, agenda kami sangat berbeda, dan kami sedang tidak berada dalam payung yang sama. Akan terasa sangat asing rasanya apabila aku tiba-tiba berkomunikasi via chat secara intens dengannya.

Sekali lagi Tuhan adalah sebaik-baik perencana. Tidak lama, aku mengetahui bahwa salah satu kreator favoritku baru saja menerbitkan buku keduanya serta akan mengadakan bedah buku salah satu kafe di kota masa kecil kami—ya, Bulan masih tinggal di sana.

Buku adalah perantara terbaik yang dapat menghubungkan kami. Tanpa berlama-lama, aku mengirimkan pesan singkat untuk mengajaknya hadir bersama di sana.

Sekembaliku dari ibu kota, kami bertemu di kafe tempat bedah buku itu akan dilaksanakan. Sebelum acara dimulai, kami bertukar sapa dan bercerita sedikit banyak mengenai kesibukan kami kala itu. Kami sedang sama-sama menulis karya ilmiah bersama dosen kami masing-masing. Aku sedang menulis artikel jurnal tentang bahasa, sementara Bulan— yang baru saja lulus dari program studi teknologi pangan — menulis buku ilmiah mengenai telur dan hal ihwalnya.

Bersikap baik karena sudah seharusnya atau karena suka memang tipis bedanya. Saat itu, aku masih sangat naif dan skeptis untuk mengartikan segala respons Bulan lebih dari sekadar sikap baik dari teman untuk teman. Aku masih benar-benar tidak mengetahui Bulan memiliki rasa yang sama.

Pasca pertemuan perdana itu, aku masih memikirkan cara komunikasi terbaik untuk mengenalnya lebih jauh. Sampai ketika aku ingat bahwa Bulan pernah mengirimkan surat akhir tahun melalui surel sebelumnya. Dalam benak aku bergumam “Mengapa tidak mengirimkan email saja seperti Bulan!?”. Maka, pada awal Desember surat pertamaku berhasil terkirim setelah berkutat selama sepekan memilah kata menyusun kalimat yang tepat — jujur saja aku sangat tidak terbiasa menulis surel personal dalam bahasa Indonesia. Surat pertama itu berisisi pesan untuk mengajaknya bertemu dalam agenda baca buku bersama dengan banyak pegiat buku di taman tengah kota masa kecil.

Tidak lama setelah surat itu tersampaikan, kami bertemu kembali untuk kedua kalinya. Seusai agenda baca buku itu, kami meluangkan waktu untuk mengunjungi restoran terdekat sebelum akhirnya berpisah di halte untuk pulang ke rumah masing-masing.

Melanjutkan obrolan di pertemuan sebelumnya, kami banyak bertanya kabar dan mengenai banyak hal. Salah satu yang kami saling tanyakan adalah apa dan bagaimana rencanamu di masa nanti? Perihal cita-cita, pendidikan, karier, dan segalanya, termasuk pernikahan. Dari tanya itu aku tahu bahwa kami masih ingin membenahi diri sendiri, bertumbuh dan mencapai apa yang menjadi mimpi kami. Yang jelas soal pernikahan itu masih jauh dari benak saat ini.

Setelah pertemuan kedua, aku khawatir komunikasi dengan Bulan akan terputus. Maka dari itu, dalam surat kepulanganku ke Ibu Kota aku mengajaknya untuk tetap bertukar kabar melalui surel, sekali dalam dua pekan. Kabar baiknya Bulan berkenan. Sejak itu kami saling bertukar kabar.

Seiring komunikasi terbangun, aku menyadari kehadiran Bulan dalam komunikasi itu sedikit banyak memberi isyarat bahwa ia mungkin juga memiliki rasa yang sama. Menjelang pergantian tahun, aku meyakinkan diri bahwa rasa sukaku mulai terbalas.

2024

Beranjak dari apa yang ku yakini, pada Januari aku mulai membuat rencana jangka panjang untuknya. Di antara rencana jangka panjang itu aku memulainya dengan kapan, bagaimana, dan dalam bentuk apa akan mengutarakan rasa dan rencana yang ku miliki.

Sadar betul bahwa akan sangat sulit mengutarakan rasa dan rencana itu secara langsung dengan baik, aku berencana untuk menuliskan segala yang ku miliki dalam secarik kertas, melampirkannya dalam paket POST Santa—paket cendera mata dari toko dan penerbit buku indie di pasar Santa — untuknya segera setelah aku tiba di rumah nanti. Paket itu akan ku serahkan kepada Bulan sebelum kami berpisah di pertemuan ketiga di pertengahan Februari.

Hari kepulanganku tiba. Di rumah aku banyak berbincang dengan ibu, juga mengutarakan rasa dan rencanaku untuk Bulan kepadanya sembari meminta restu. Setelah bercerita, ibu memberikan respon baik, Ia yakin dengan apa yang ku sampaikan. Ibu juga menyarankan supaya aku menemui ayah bundanya, setidaknya untuk berkenalan dan berbincang santai dengan mereka — aku berencana untuk menemui ayah bundanya di pertemuan berikutnya, setelah memastikan Bulan berkenan menerimaku.

Dengan menulis setidaknya segala yang ku rasa serta rencana dapat tersampaikan dengan baik, kronologis dan jelas. Namun, bagaimana pun juga manusia hanya mampu berencana, sebab Tuhan memiliki kehendaknya sendiri. Rasa dan rencana di secarik kertas itu tak kunjung tertulis hingga hari kami bertemu.

Hari kami bertemu tiba. Aku berharap pada Tuhan memohon apa yang menurutnya terbaik. Aku memutuskan untuk mengutarakan semuanya kepada Bulan secara langsung di penghujung hari.

Pada hari spesial itu kami bertemu di kota lama. Benakku kala itu masih penuh dengan tanda tanya, bagaimana cara mengutarakan rasa dan rencana, harus mulai dari mana?

Kami berjalan santai menuju pemberhentian pertama, kedai nasi goreng jawa ternama di kota lama. Dari jauh kami melihat ada dua mudi yang membawa serangkul karangan bunga, berjalan berlawanan arah. Kelihatannya seperti baru saja merayakan kelulusan. Keduanya datang menghampiri sembari menawarkan karangan bunga itu kepada kami. Rupanya bunga-bunga yang mereka bawa itu dijual. Tertarik dengan yang mereka buat, kami membeli salah satu karangannya. Bunganya sejenis, tetapi banyak, kecil-kecil persis seperti krisan, warnanya ungu muda lavender, juga ada sedikit daun-daun kecil hijau di sekelilingnya, cantik sekali.

Bulan merangkul karangan bunga itu di lengan kanannya, melanjutkan langkah menuju persinggahan berikutnya, kami tiba di kedai nasi goreng Jawa. Kami memesan seporsi nasi goreng juga seporsi nasi telur gongso — telur oseng dengan kecap manis, kemudian memulai bincang-bincang santai yang diawali dengan preferensi kami soal sajian telur, haha, rupanya kami memiliki kesukaan yang berbalik. Bulan seperti adik perempuanku, mereka sama-sama lebih menyukai telur mata sapi.

Dari kedai nasi goreng, kami meneruskan persinggahan ke kedai kopi klasik, mencicipi racikan kopi dan matcha, serta menikmati dua porsi kecil cinnamon roll hangat dengan selai cokelat di atasnya. Menyadari bahwa kami membaca buku yang ditulis oleh penulis yang sama, kami bertukar buku yang tengah kami baca itu dan bercerita mengenai isi keduanya. Buku kami ditulis oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, penulis untuk antologi Cerita Cerita Jakarta (2022) dan Tiga dalam Kayu (2022). Tidak lupa sebelum beranjak, sebagai buah tangan dari Ibu Kota, paket POST Santa berwarna oranye terang dengan satu ikat simpul membungkusnya kala itu juga tersampaikan untuk Bulan. Senyumnya lebar, bahagia melihatnya senang menerima paket mungil itu.

Bangku taman kota adalah destinasi terakhir kami, sekaligus tempat di mana rasa dan rencanaku nantinya diutarakan. Bulan memilih bangku yang cukup untuk dua orang di sisi timur taman. Bangku itu mengarah langsung ke fasad tua gedung tiga lantai iconic Belanda yang kini disulap jadi kafe dan resto untuk turis lokal. Sejenak duduk menghela nafas, aku masih berpikir bagaimana cara untuk menyampaikan rasa dan rencanaku untuknya dengan baik. Tidak bertele-tele tetapi juga tidak terlalu cepat, sedikit namun tetap mengena, jelas, tidak mengambang.

Pilihan terbaik kala itu adalah bercerita. Cerita yang sama sebagaimana aku meyakinkan ibu dua hari sebelumnya. Aku harap kala itu semoga ia memahami rasa dan rencanaku, serta mengetahui alasan mengapa dan bagaimana, sama seperti ibu yang sudah memahamiku. Adapun yang lebih dari itu, maka sekali lagi harapku pada Tuhan segala apa yang baik di sisinya. Mengawali dengan memanggil namanya “Bulan,” aku memulai kisah empat belas tahunku. Bulan menyimak kisah itu sambil menatap ke depan, sesekali melihat ke arahku yang sedang bercerita.

Segala rasaku yang tersurat dalam kisah empat belas tahun itu ditutup dengan rencanaku untuk Bulan. Rencana yang diakhiri dengan tanya perihal kesediaannya untuk membersamai hidup serta perahu kecilnya nanti. Sebuah janji untuk segera membersamainya segera setelah menuntaskan pendidikan magister dalam dua tiga tahun mendatang. Harapnya masa penantian itu adalah masa untuk tidak hanya bertumbuh untuk meraih cita dan mimpi masing-masing, tetapi juga dapat saling berbagi segala apa yang mungkin menjadi upaya untuk mewujudkan hubungan yang baik nantinya. Tidak hanya kepada kami sebagai teman hidup, tetapi juga kepada siapa yang memberi hidup.

Bulan sejenak diam, menatapku, kemudian mengangguk sebagai isyarat tanda berkenan. Bulan mengiyakan rencanaku untuknya. Ia memanggilku “Ky,” menjanjikan sesuatu “tolong tunggu, aku akan menulis surat balasan untuk ini”. Tidak lama hujan turun membasahi jalanan kota. Kami memesan layanan transportasi daring. Aku menemaninya pulang.

Selama perjalanan, aku masih tidak percaya bahwa Bulan akan berkenan membersamaiku. Tidak menyangka akan ada karangan bunga cantik yang membersamai kami. Tidak mengira bahwa Tuhan akan berkehendak supaya hujan di kota lama sore itu menjadi penghantar untukku menemui ayah dan bundanya — persis seperti apa yang ibu harapkan.

Ya, rintik hujan itu membersamai langkahku untuk menemui ayah dan bundanya, di sore yang sama, di hari spesial itu. Setibanya di rumah mereka, aku memperkenalkan (kembali) diriku, sebab bundanya masih mengingatku sejak terakhir kami lulus pada sepuluh tahun yang lalu — kala itu kami sesekali bersapa ketika Bulan dijemput sepulang sekolah. Seperti layaknya dua orang baru yang baru berkenalan, aku dan ayahnya berbincang akan segala hal. Dari obrolan itu aku merasa diterima oleh mereka dengan sangat ramah. Darinya ku tahu mereka adalah orang tua yang baik. Sore hari mulai berganti malam, aku izin pamit untuk pulang. Bulan melambaikan tangan, mengisyaratkan perjumpaan di lain waktu.

Surat yang dijanjikan tiba dua hari setelahnya, pada malam Selasa, 13 Februari. Surat tentang kisahku dari sisinya. Kisah yang ku baru tahu bahwa Bulan juga menyimpan rasa yang sama, bahkan jauh sebelumku. Ya, Tuhan memiliki rencananya sendiri untuk setiap kita.

Terima Kasih

Surat balasan itu kutulis dalam kereta api, sembari menikmati hamparan sawah hijau, menemani perjalananku menuju Jakarta untuk kembali. Perjalanan untuk hari-hari yang baru, tulisan-tulisan yang baru, serta Bulan yang baru. Bulan tidak lagi hanya sebagai teman kecilku, serta teman tulisku, tetapi juga teman di masa nanti untuk bersama bertumbuh dan berbagi.

Terima kasih untuk semuanya, selamat bertumbuh di tahun 2024.

Semoga senantiasa dalam kasih sayang dan perlindungan Tuhan.

Selalu, dan sepanjang waktu.

--

--

Rizky Phalosa Ady

Every month, I share my stories and insights. Mostly about human nature, though I do like to sprinkle in some thoughts on language science. Let's connect!