Mengapa sering kali diri kita seakan-akan ‘Hilang’ dan terus berulang?

Rizky Phalosa Ady
10 min readDec 31, 2023

--

Pernahkah merasa bahwa dari lebih dari delapan miliar manusia yang ada di dunia ini, musuh terbesar kita bukanlah salah satu dari mereka, tetapi justru diri kita sendiri?

Saya yakin, kamu dan kita semua pernah merasakan posisi di mana kita benar-benar merasa bersalah karena telah mengingkari janji terhadap diri sendiri. Seringkali ketika kita melakukan perbuatan tidak baik, khususnya melanggar aturan yang kita buat, kemudian merasa kita adalah manusia terburuk dari manusia lainnya, dan pada akhirnya memusuhi diri kita sendiri.

Seiring waktu berjalan, kita kembali berteman dengan diri kita lagi. Berkomitmen dengan diri sendiri, untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama. Namun, cepat atau lambat, entah mengapa tiba-tiba kita kehilangan kontrol atas diri kita, kita kembali melakukannya, merasa sangat bersalah, akhirnya memusuhi diri kita lagi, dan begitu terus dengan siklus yang sama, entah sampai kapan.

“Bagaimana, ya, caranya keluar dari siklus itu? bagaimana ya caranya lepas dari perbuatan negatif itu?”

pertanyaan itu selalu terngiang di kepala saya, ketika sedang ada di posisi berteman baik dengan diri. Entah sudah berapa lama saya bertanya-tanya kepada diri sendiri apa sebab dan bagaimana solusinya.

Akhir-akhir ini saya sedang membaca buku berjudul Predictably Irrational milik Dan Ariely [1]. Seorang profesor di bidang psikologi dan ekonomi perilaku (Behavioral Economics), yang mengajar di Duke University, AS. Buku tersebut berisi berbagai eksperimen Ariely yang membuktikan bahwa ternyata keputusan-keputusan kecil maupun besar yang dibuat oleh manusia tidak sepenuhnya rasional dan logis, dan uniknya keputusan yang kita pikir rasional, justru sebetulnya berasal dari ketidakrasionalan kita sendiri.

Menurut saya, kriteria buku yang bagus adalah buku yang justru membuat pembacanya banyak berhenti membaca. Yang saya maksud adalah berhenti membaca, merenungi apa yang disampaikan penulis, sembari bergumam dalam diri “Ohh.. jadi selama ini…” atau “wah benar juga, mengapa saya tidak pernah terpikir sebelumnya…” dan berbagai ekspresi eureka moment, tiba-tiba memahami masalah atau konsep yang tidak dapat kita dipahami atau sekadar pikirkan sebelumnya. Ariely dengan Predictably Irrational-nya benar-benar membuat saya banyak berhenti membaca kali ini.

Buku Predictably Irrational karya Dan Ariely

Pada salah satu bab yang ia tulis, saya menemukan hal yang menarik. Ariely berhipotesis bahwa manusia cenderung untuk dapat kehilangan sebagian dari rasionalitasnya ketika sedang berada dalam puncak emosi — dalam terminologi Ariely bernama hot state. Selain itu, Ariely juga ingin menguji seberapa baik kita dalam memprediksi keputusan yang kita akan buat dalam situasi puncak emosi, baik itu yang kita labeli sebagai emosi yang bersifat positif atau negatif.

Mengapa hal ini menarik? di antara kita dalam kondisi normal — Arierly menyebutnya cold state—mungkin pernah berbisik kepada diri sendiri, bahwa kita akan selalu berusaha maksimal untuk menghindari perilaku negatif dalam kondisi apa pun, atau sekadar mengatakan “Mana mungkin saya melakukan hal itu” dan merasa cukup bahwa bisikan itu sudah menjadi benteng kokoh kita dari perilaku tersebut.

Mungkin kita mengetahui betul bahwa mencuri adalah tindakan yang sangat tidak mungkin untuk kita lakukan, karena kita tahu betul apa konsekuensi dan akibat yang akan timbul darinya. Itu mengapa ketika kita melihat orang lain melakukan hal tersebut, kita bertanya-tanya “mengapa ya masih ada orang yang mencuri, padahal mereka tahu itu merugikan orang lain, dan bahkan dirinya sendiri” dan pertanyaan lainnya yang memiliki nada serupa.

Ariely memutuskan untuk menguji hipotesis tersebut pada kondisi stimulasi seksual. Saya sedikit bertanya-tanya, apakah benar bahwa stimulasi seksual juga bagian dari emosi? karena saya pikir bentuk emosi itu tidak jauh dari perasaan senang, sedih, takut, marah, atau Jijik, persis seperti film Inside Out, atau setidaknya yang saya baca, ke-lima emosi tersebut adalah lima emosi dasar analisis linguistik dari 590 kata berbahasa Inggris yang berhubungan dengan emosi oleh Johnson-Laird and Oatley [2].

Sedikit googling, saya menemukan ada benarnya jika Ariely menempatkan stimulasi seksual menjadi bagian dari emosi. Menurut Jansenn (Profesor di bidang psikofisiologi di University of Leuven, Belgia) ia merupakan keadaan emosional/motivasi yang dipicu oleh rangsangan internal dan eksternal [3]. Saya makin yakin juga dengan definisi yang saya temukan di Quora oleh Aditya “Emotions are feelings that come as a reaction to what is going on around us. Motivation, on the other hand, is what gets us moving and inspires us to achieve our goals” [4]. Sederhananya bisa disebut bahwa emosi adalah feelings, sedangkan motivasi get things done.

Mengapa Ariely memilih kondisi emosional ini dari yang lain? Tentu bukan karena ia memiliki kecenderungan seksual yang tidak lazim. Eksperimen ini kiranya dapat membantu meluruskan benang kusut dari problematika isu sosial yang banyak terjadi, seperti kehamilan di bawah umur, aborsi, pelecehan dan kekerasan seksual, prostitusi, hingga penyebaran STD’s (Sexually Transmitted Diseases) seperti HIV-AIDS.

Dalam penelitian ini Ariely membuat iklan penelitiannya untuk mencari sukarelawan di pusat kegiatan sosial dan politik di Universitas California, Berkeley (UC Berkeley), bernama Sproul Plaza. Terletak di pusat area kampus, nama “Sproul Plaza” diambil dari nama mantan presiden UC dan gubernur wilayah California, Robert Gordon Sproul. Iklan tersebut kira-kira terdengar seperti ini:

“Wanted: Male research participants, heterosexual, 18 years-plus, for a study in decision making and arousal”

Ariely menjelaskan bahwa proyek ini awalnya tidak mendapatkan izin dari MIT’s Sloan School of Management. Beberapa pertimbangan dari pihak kampus yang membatasinya membuat Ariely melihat bahwa topik seksualitas masih menjadi hal yang tabu dalam dunia akademik, bahkan di kampus kelas dunia sekelas MIT. Namun, mengapa perlu izin dari MIT? mengapa jusru bukan Duke University di mana saat ini ia bekerja? Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008 silam, dan Ariely masih mengajar sebagai profesor di MIT Sloan School of Management pada saat itu.

Beruntungnya di saat yang sama Ariely juga menjadi profesor di Media Lab MIT, laboratorium penelitian multidisiplin di MIT. Dengan posisinya tersebut, akhirnya ia mendapatkan lampu hijau dari Walter Bender, kepala MIT Media Lab ketika itu (per-hari ini, Walter adalah Co-founder dan Chief Scientific Officer di Sorcero, platform urusan medis berbasis AI, di Washington, DC).

Setelah izin diperoleh, Ariely mendapatakan 25 sukarelawan yang akan tergabung. Roy adalah salah satu dari peserta sukarelawan yang karakteristiknya mewakili sebagian besar peserta yang tergabung saat itu. Ia siswa cerdas, berprestasi, ramah, dan multitalenta—tipikal anak idaman ibu mertua katanya. Roy berkeinginan untuk dapat melanjutkan pendidikan tinggi ke sekolah kedokteran. Setidaknya dari latar belakang tersebut bisa terbayangkan bahwa Roy dan peserta sukarelawan lainnya adalah remaja percontohan, relatif jauh dari sebutan remaja nakal pada saat itu.

Sebelum penelitian dimulai, Roy diberikan laptop yang telah dimodifikasi dengan 12 keypad berwarna. Ia diminta untuk menjawab 29 pertanyaan dengan pilihan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ berskala 0 sampai dengan 100. Seluruh pertanyaan menanyakan apakah Roy mampu untuk memproyeksikan dirinya melakukan kegiatan seksual menyimpang dan tidak lazim. Di antara pertanyaan yang akan ditampilkan pada laptop tersebut adalah sebagai berikut:

Can you imagine being attracted to a 12-year-old girl? Could you enjoy having sex with someone you hated? Would you keep trying to have sex after your date says ‘no’? Is the smell of cigarrete smoke arousing? Is just kissing frustating?

Sisa pertanyaan lainnya terlalu vulgar untuk saya tampilkan. Namun, setidaknya pertanyaan di atas adalah gambaran paling ringan dari keseluruhan pertanyaan Ariely kepada Roy dan sukarelawan lainnya. Pertanyaan terkait penyimpangan seksual mulai dari pedofilia, pemerkosaan, gangguan seksual seperti fetisisme dengan berbagai macam variasinya, dan perilaku seksual beresiko lainnya juga turut hadir.

Untuk mengetahui apakah Roy dan peserta lainnya akan memiliki preferensi yang berbeda dalam kondisi normal cold state dan puncak emosional hot state, sekaligus memprediksi berbagai keputusan terkait penyimpangan dan perilaku seksual tidak lazim, semua pertanyaan tersebut akan dijawab Roy dan peserta lainnya dalam dua kali sesi. Pertama, Roy akan menjawab seluruh pertanyaan tanpa melibatkan aktivitas seksual apa pun, cukup dengan membayangkan dirinya sedang dalam kondisi stimulasi seksual. Kedua, Roy akan menjawab dalam kondisi stimulasi tinggi yang melibatkan aktivitas seksual non-penetrasi. Kedua sesi tersebut memiliki jarak beberapa hari, saya berasumsi hal tersebut dilakukan untuk meghindari interfensi kedua emosi yang bertolak tersebut.

Dalam waktu tiga bulan semua sukarelawan telah menjalani eksperimen tersebut, dan hasil penelitian ini memperlihatkan konklusi yang konsisten.

Pertama, dari lima pertanyaan mengenai preferensi aktivitas seksual beresiko (tanpa alat kontrasepsi) pada kondisi hot state persentase rata-rata persetujuan ada di angka 25% lebih tinggi daripada kondisi cold state. Sebagai contoh, pada pernyataan “Birth control is the woman’s responsibility” ada 34% orang yang menyatakan setuju dalam kondisi cold state. Namun, dalam kondisi hot state meningkat menjadi 46%, atau 29% lebih tinggi.

Kedua, dari 19 pertanyaan mengenai preferensi seksual menyimpang, pada kondisi hot state, persentase rata-rata menunjukkan angka 72% lebih tinggi dari darikondisi cold state. Sebagai gambaran, pada pertanyaan “Can you imagine being attracted to a 12-years-old girl?”, dalam kondisi cold ada total 23% orang yang setuju, dan dalam kondisi hot, 46% orang setuju, atau 100% lebih tinggi.

Ketiga, dari lima pertanyaan mengenai kecenderungan untuk terlibat dalam aktivitas seksual tidak bermoral, dalam keadaan hot state peserta menunjukkan rata-rata persentase persetujuan 136% lebih tinggi dibandingkan cold state. Sebagai gambaran, pada pertanyaan “Would you keep trying to have sex after your date says ‘no’?” dalam kondisi cold state total 20% setuju, dan dalam kondidi hot state 45% peserta setuju, atau 125% lebih tinggi.

Dalam kondisi cold, rasional, kesadaran penuh, Roy dan peserta eksperimen lainnya sangatlah menghormati dan menghargai wanita; mereka sangat jauh dari kata tertarik untuk terlibat dalam aktivitas seksual menyimpang, menjunjung tinggi nilai moralitas, dan konsisten menyatakan menggunakan alat kontrasepsi untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan untuk berjaga-jaga. Mereka merasa benar-benar memahami betul bagaimana mereka akan mengambil keputusan dan bertindak dalam kondisi puncak emosi. Namun, berdasarkan data yang ditemukan, sejatinya mereka tidak betul-betul memahami diri mereka.

Nilai kehati-hatian, moralitas, konservatisme, penjagaan diri dan bahkan keimanan, semua itu tiba-tiba hilang entah ke mana, seketika Roy dan peserta eksperimen lainnya berpindah dari cold state ke hot state. Ternyata apa yang mereka prediksikan berdasarkan nilai-nilai tadi jauh dari kata akurat. Mereka tidak mengetahui apa yang akan diputuskan dalam kondisi puncak emosi, dan bahkan mereka betul-betul menjadi monster yang jauh berbeda dari diri mereka sebelumnya.

Melihat kondisi stimulasi seksual memiliki pola yang sama dengan jenis emosi lainnya, Ariely mengasumsikan bahwa hal ini juga berlaku pada rasa marah, sedih, frustrasi, lapar, bahagia, dan segala puncak emosi yang kamu labeli sebagai positif atau negatif, entah itu yang sudah ada namanya, atau bahkan belum kamu temukan di KBBI.

Sebaik apa pun diri kita, sereligius apa pun diri kita, dan seyakin apa pun diri kita, bahwa kita akan tetap teguh dengan apa yg kita percaya—bahkan mungkin semirip apa pun kita dengan Roy, studi Ariely tadi membuktikan pada akhirnya dalam kondisi emosional yang tinggi kita tidak akan pernah benar-benar bisa memprediksi keputusan dan perilaku apa, berubah menjadi siapa, dan bahkan menjadi makhluk apa nantinya. Tidak ada jaminan dengan hanya memberikan afirmasi atau penafian terhadap diri, lantas kita akan terus bersama dengan apa yang kita yakini, karena pada akhirnya kita memiliki dua versi diri.

Mungkin kita pernah mendengar ungkapan “practice makes perfect”, tetapi sayangnya, Ariely menemukan berbagai studi yang menunjukkan bahwa tingginya jam terbang yang kita lalui dengan emosi, tidak serta-merta memberikan kita kontrol terhadapnya. Ia menyatakan bahwa sesering apa pun kondisi emosional tinggi tersebut kita alami, tidak kemudian lantas berbanding lurus dengan kemampuan kita untuk mengantisipasi perubahan perilaku dan keputusan.

Nah, Sekarang semua terasa logis karena dari pernyataan itu kita dapat memahami alasan mengapa kita pada akhirnya cepat atau lambat kembali melakukan kesalahan yang sama, merasa bersalah, dan begitu terus dengan siklus yang sama. Familiarnya kita dengan emosi/motivasi yang seringkasi muncul untuk mendorong kita untuk melakukan kesalahan tersebut tidak membuat kita lantas memiki kontrol atasnya yang membuat kita mudah lepas dari terjadinya hal dan perilaku negatif. Tidak adanya kontrol tersebut yang akhirnya membuat kita jatuh ke lubang yang sama, dan terus berulang. Analoginya seperti kita menggunakan penutup mata saat berjalan di padang ranjau, sudah pernah terkena ranjau, kembali lagi berjalan mengenai ranjau lainnnya.

Jika demikian, lalu bagaimana solusinya? tentu ini pertanyaan besar yang saya yakin kita semua juga bertanya-tanya apa jawabnya? Senang sekali karena Ariely juga berbagi pandangannya terkait masalah ini.

Sebelum kita membahas solusinya secara general, mari kita lihat bagaimana Ariely menawarkan solusi terbaik berdasarakan penelitian yang ia lakukan untuk kasus penyimpangan seksual sebelumnya. berikut kutipan yang saya ambil dari Ariely pada bab yang sama:

“A better strategy, for those who want to guarantee that teenagers avoid (unwanted) sex, is to teach teenagers that they must walk away from the fire of passion before they are close enough to be drawn in”

Tentu ini bukan hal yang mudah. Akan tetapi, menurut penelitiannya, akan jauh relatif lebih mudah untuk kita menghindari dan melawan godaan itu sebelun ia hadir, daripada ketika kita sudah berada tepat di hadapannya. Saya sangat setuju dengan peryantaan tersebut, karena pada hakikatnya godaan itu bukan untuk dilawan, namun untuk dihindari, karena kita bukan malaikat yang terbebas dari hasrat.

Bagi teman-teman muslim, kiranya hal ini sangat sesuai dengan apa ada dalam Al-Qur’an, pada Surah Al-Isra, dalam potongan ayat ke-32, secara harfiah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia “Dan janganlah kamu mendekati zina…”. yang diminta bukanlah untuk ‘tidak melakukan zina’, karena Tuhan mengetahui betul bahwa akan sangat sulit bagi manusia untuk menahan hasrat yang sudah ada. Namun, jauh sebelum hasrat itu hadir dalam hati manusia, yang Tuhan minta adalah untuk tidak mendekati apa-apa yang mungkin dekat dengan perbuatan tersebut. Maka tidak heran jika berpacaran sebelum menikah menjadi salah satu hal yang perlu dihindari bagi seorang muslim.

Ayat ke-32 dalam surah Al-Isra di Al-Qur’an

Pelajaran yang dapat kita ambil, bahwa pertanyaan yang tepat bukanlah bagaimana caranya untuk melepaskan diri dari emosi? bagaimana caranya agar tidak marah, kecewa, frustrasi, dan emosi lainnya? tetapi pertanyaan yang tepat adalah bagaimana caranya agar menghindari terjadinya puncak emosi/motivasiatau hot state? karena sangat mudah untuk kita berpindah dari cold state menjadi hot state, sangat mudah untuk kita berkata ‘ya’ dari yang sebelumnya ‘tidak’, karena rasa-rasanya hampir mustahil untuk kita tiba-tiba tenang dalam puncak amarah, tiba-tiba senang dalam puncak kesedihan, tiba-tiba semangat ketika sedang sangat malas.

Kita bisa lihat juga bahwa paradigma ini mendukung banyak konsep produktivitas yang kita temukan saat ini. Learn to say no, mindful breaks, Boundaries setting, mindfulness dan berbagai konsep lainnya sangat relevan dengan objektif dari paradigma yang dibawa Ariely dan tentunya apa yang disarankan dalam Al-Qur’an. Benang merah yang saya lihat dari konsep-konsep tersebut secara kolektif adalah bagaimana kita melakukan blocking sebelum kita kewalahan menghadapi kondisi negatif yang tidak diharapkan.

Easier said than done. Walaupun kita tahu ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan, semoga setidaknya dengan mengetahui bagaimana kecenderungan perilaku dan proses kita sebagai manusia dalam mengambil keputusan, kita memiliki pertimbangan tambahan dan mengetahui arah mana yang harus kita ambil setiap kali kita akan ‘kehilangan’ diri kita dan mencegah agar ia tidak terus berulang, nantinya.

Referensi

[1] Ariely, D. (2009). Predictably Irrational: The Hidden Forces that Shape Our Decisions. HarperCollins UK.

[2] Janssen E. Sexual arousal in men: a review and conceptual analysis. Horm Behav. 2011 May;59(5):708–16. doi: 10.1016/j.yhbeh.2011.03.004. Epub 2011 Mar 21. PMID: 21397602.

[3] Johnson‐Laird, P. N., & Oatley, K. (1989). The language of emotions: An analysis of a semantic field. Cognition & Emotion, 3(2), 81–123. https://doi.org/10.1080/02699938908408075

[4] What is the difference between emotions and motivation? (2022). Quora. https://www.quora.com/What-is-the-difference-between-emotions-and-motivation/answer/Aditya-Raj-Singh-292?ch=10&oid=359179274&share=9cc15cd4&srid=ueLsSY&target_type=answer

--

--

Rizky Phalosa Ady

Every month, I share my stories and insights. Mostly about human nature, though I do like to sprinkle in some thoughts on language science. Let's connect!