Mengapa Kita Lebih Mudah Untuk Memecahkan Masalah Orang Lain?

Sedangkan Untuk Diri Sendiri, Susahnya Bukan Main.

Rizky Phalosa Ady
5 min readJan 31, 2024
Kelompok tur mungil saya bersama Jakarta Good Guide di Blok M Mall, Kebayoran Baru

Mengapa, ya, ketika kita dimintai saran oleh teman, mudah bagi kita untuk memberikan nasehat dan kata-kata bijak untuk mereka?

Lebih jauh lagi, mengapa ketika teman kita yang baru saja bercerita — terkadang tanpa meminta solusi — kita sudah 10 langkah lebih dulu menganalisis akar masalahnya, dan menyiapkan solusinya?

Tidak hanya urusan teman, bahkan juga mengapa kala kita melihat berita permasalahan lingkungan di sosial media atau berita, dengan mudah terbesit di benak, “harusnya kan pemerintah bisa melakukan ini dan itu”. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba solusi itu muncul di kepala.

Meskipun demikian, kita yang ‘kelihatannya bijak’ tadi ketika berhadapan dengan masalah kita sendiri, sifat ‘bijak’ itu hilang, dan seolah-olah kemapuan ‘problem solving’ kita tidak berfungsi lagi. Keduanya hilang entah kemana, meninggalkan kita kebingungan sendiri.

Mengapa kita yang lebih mengenal diri sendiri, justru lebih mudah meluruskan benang kusut orang lain, daripada benang kusut kita?

Pertanyaan itu kadang kala hadir mengusik benak saya. Mengapa, ya? Aneh sekali, seperti paradoks, ngga masuk akal.

Sembari mencari jawabnya dari berbagai sumber di internet, saya mencoba mengamati perlahan apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya.

Setelah memahami beberapa tulisan dan berefleksi, saya menyadari bahwa keterikatan emosi antara kita terhadap masalah adalah sebabnya. Baik kala masalah itu ada dengan kita, pun dengan orang lain. Untuk memahami apa yang saya temukan, mari perhatikan cerita di bawah ini …

Kebakaran Besar di Istana Negara

Sebuah Jawaban dari Solomon Paradox

Bayangkan kamu sedang berada di jendela apartemen gedung yang tinggi. Kamu memegang teropong sembari mengamati satu mobil pemadam kebakaran yang melaju cepat melintasi ramainya jalanan kota yang menuju istana negara. Kebakaran besar sedang terjadi di istana itu.

Dalam pandangmu, terlihat alat-alat pemadam seperti selang dan kapak tidak berada di posisi yang aman, sehingga semuanya berjatuhan di jalan. Selain itu, keran tangki air yang juga dibawa bocor, membasahi jalanan yang dilaluinya.

Sayang, para pemadam tidak menyadari hal tersebut. Dari kaca mobil depan, terpantau seorang sibuk menyetir, satu berteriak mengarahkan pengguna jalan, dan sisanya berkoordinasi satu sama lain di bangku belakang.

Sesampainya di lokasi, para pemadam kebingungan menyadari bahwa tidak ada peralatan dan air yang dapat menyelamatkan istana itu. Alhasil, bukan hanya istana yang hangus tak tersisa, tetapi para pemadam juga kembali dalam keadaan sedih, sebab gagal menyelesaikan misi besar itu.

Cerita singkat di atas adalah analogi untuk menjawab pertanyaan kita.

Jatuhnya alat-alat pemadam dan bocornya tanki air adalah detail penyebab masalah yang dapat kamu amati, tetapi tidak disadari temanmu, sebab temanmu adalah pemadam kebakaran yang sedang kalut dan terlampau fokus dengan suatu hal penting di hadapannya — digambarkan sebagai kebakaran besar di istana.

Supaya lebih mudah untuk memahaminya, mari perhatikan ilustrasi ini

Dari ilustrasi di atas kita dapat mengetahui bahwa kita dapat dengan mudah menganalisis penyebab masalah teman kita ketika

  1. Pertama, posisi kita jauh dan fokus memerhatikan — detachment state — keadaan teman kita secara utuh dari berbagai sisi (termasuk sisi yang tidak teman kita sadari).
  2. Kedua, kita jauh dari distraksi kekalutan emosi dan perasaan — non-immersive state — yang temanmu rasakan saat itu.

Detachment state membuat kita berada di perspektif orang ketiga dan non-immersive state melepaskan kita dari keterikatan emosional. Kedua hal inilah yang membuat kemampuan problem solving yang kita miliki mampu menganalisis masalah secara objektif, kemudian menghasilkan output solusi yang baik.

Dengan memahami konsep ini, kita tidak hanya dapat memahami bagaimana kita dapat mudah memecahkan masalah orang lain, tetapi juga kita dapat menggunakan pola yang sama untuk menyelesaikan masalah kita sendiri.

Lantas bagaimana caranya?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memahami terlebih dahulu dua sudut pandang dalam mengamati diri atau disebut sebagai …

Types of Self Perspective

Self-Immersed vs Self-Distanced

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, normalnya kita akan menempatkan diri pada sudut pandang orang pertama yang merasakan betul peristiwa dan perasaan yang hadir. Sebagai contoh, ketika kita gagal mencapai impian, kita akan fokus kepada rasa sedih, marah, kecewa, dan emosi negatif lainnya.

Kondisi ini bernama self-immersed. Kita secara lazim selektif memilih hanya fokus kepada emosi konkret yang terbentuk dari pengalaman yang ada.

Sebaliknya, kala kita melihat pengalaman dan perasaan secara utuh menyeluruh dari berbagai sudut pandang, kita berada dalam kondisi bernama self-distanced.

Kondisi ini terjadi ketika kita berhasil membuat jarak untuk detach — melepaskan keterikatan — dari emosi dan perasaan. Self-distanced memungkinkan kita untuk menganalisis masalah yang hadir secara objektif dan bebas bias.

Konsep self-distanced dapat diaplikasikan dengan menggunakan kata ganti orang ketiga. Ganti kata ‘aku’ menjadi nama kita. Dari pertanyaan “Apa yang membuatku sedih?”, menjadi “Apa yang membuat Fakhri sedih?”.

Teknik ini memanipulasi kita mengobservasi objek secara netral, tanpa melibatkan emosi dan perasaan negatif.

Sayangnya, meskipun kita telah mengaplikasikan teknik ini, fokus pada apa yang kita pilih akan menentukan seberapa baik hasil analisis masalah yang kita lakukan tersebut. Mari mengenal apa yang diistilahkan dengan nama …

Types of Emotional Focus

What-Focused vs Why-Focused

Pada dasarnya kita akan cenderung fokus kepada apa emosi yang kita rasakan, daripada bertanya mengapa kita mengalami perasaan tersebut. Kita lebih sering fokus kepada rasa sedihnya, marahnya, kecewanya, bukan pada alasan mengapa kita bersedih, marah, dan kecewa, ‘kan?

Nyatanya, hanya berfokus kepada apa menyebabkan kita kembali menyelami emosi negatif yang kita lalui. Oleh karena itu, meskipun kita berusaha menempatkan diri pada kondisi self-distanced, fokus kita pada ‘apa’ akan membawa kita kepada titik awal, self-immersed.

Sebaliknya, bertanya mengapa emosi negatif hadir cenderung akan membawa kita untuk mengetahui akar masalah dan membuat kita tetap berada di posisi self-distanced.

Sembari memahami, mari kita coba amati jawaban untuk pertanyaan “Apa yang membat Fakhri bersedih?” dan “Mengapa Fakhri bersedih” berikut ini;

Ketika fokus pada pertanyaan apa, Fakhri akan menjawab,

“Mereka merendahkan pilihan Fakhri. Kata mereka Fakhri aneh sendiri. Itulah sebabnya Fakhri bersedih”

Rasa kekecewaan Fakhri akan semakin keruh dan dalam ketika dia menekankan kepada apa peristiwa di mana dia menjadi bersedih — ia direndahkan temannya. Meskipun sudah menerapkan kondisi self-distanced dengan kata ganti orang ketiga, kita akan tetap terbawa kembali pada emosi negatif.

Di sisi lain ketika fokus pada pertanyaan mengapa, Fakhri akan menjawab,

“karena cara pandang dan latar belakang Fakhri dan mereka sangat berbeda. Itu sebabnya Fakhri bersedih”.

Ketika kita berada di sudut pandang orang ketiga pada situsi self-distanced, dan bertanya mengapa, kita dapat menemukan akar masalahnya — perbedaan perspektif dan latar belakang yang apabila Fakhri berpikir secara jernih, Fakhri tidak akan memusingkan itu dan tidak akan lagi bersedih, sebab perbedaan cara pandang dan latar belakang adalah suatu keniscayaan bagi semua orang.

Harapnya setelah memahami pola dan proses yang ada dalam diri, kita tidak hanya dapat memberi masukan bijak kepada orang lain, namun juga terhadap siapa yang seharusnya paling kita sayangi, diri kita sendiri.

Artikel ini merupakan kembangan dari salah satu unggahan instagram saya dua tahun lalu, sebuah akun kompilasi bacaan bernama @muffinote.

Referensi

Grossmann, I., & Kross, E. (2014). Exploring Solomon’s paradox: Self-Distancing eliminates the Self-Other asymmetry in wise reasoning about close relationships in younger and older adults. Psychological Science, 25(8), 1571–1580.

Kross, E., Ayduk, Ö., & Mischel, W. (2005). When asking “Why” does not hurt distinguishing rumination from reflective processing of negative emotions. Psychological Science, 16(9), 709–715.

--

--

Rizky Phalosa Ady

Every month, I share my stories and insights. Mostly about human nature, though I do like to sprinkle in some thoughts on language science. Let's connect!